PUING
satu
Kurasa
setiap orang pasti pernah dalam hidupnya menghabiskan beberapa menit
untuk merenungkan apa itu waktu. Apakah ia sesuatu yang mengalir
ataukah sesuatu yang berjalan tepat di belakang punggung setiap
orang? Ataukah semata-mata pergeseran angka-angka yang terus berulang
dalam sebuah lingkaran?
Seperti
seekor ular yang berputar mengejar ekornya sendiri.
Jam dinding di kamarku tengah menunjuk angka enam. Aku terbangun satu
jam lebih siang dari yang kurencanakan. Setidaknya aku bangun lebih
awal dari biasa. Sambil memikirkan apa yang kita maksud dengan waktu
sebenarnya. Apakah ia sesuatu yang mengalir ataukah sesuatu yang
berjalan tepat di belakang punggung setiap orang? Ataukah semata-mata
pergeseran angka-angka yang terus berulang dalam sebuah lingkaran.
Seperti seekor ular yang berputar mengejar ekornya sendiri.
Aku
tengah berdiri di antara lemari dan pintu kamar mandi. Membayangkan
waktu semacam api yang tak terlihat di dalam tubuh. Membakar usia
yang kita punya sampai jatah nafas itu habis dan tubuh kita menjadi
sesuatu yang kering dan keriput. Namun jika benar seperti itu,
mestinya ada yang menjadi abu saat manusia mati. Aku tak mendapatkan
pengandaian yang lebih tepat dan kupikir aku terlalu muda untuk
memikirkannya. Jadi kugeser lemari itu dari depan pintu kamar mandi.
Kuletakkan persis di samping jendela agar udara dari luar membunuh
jamur yang mulai tumbuh pada sisi belakang lemari. Suatu hari aku
akan membuat rumusan yang bagus pikirku. Saat itu aku belum sadar
kalau aku tengah mengacaukan pengertian antara waktu dengan kematian.
Setelah
lemari dipindah, dengan cara tertentu kamarku terasa lebih lapang.
Buku-buku yang berantakan kujejalkan di bawah meja. Selimut yang
semula membentuk gundukan di ujung tempat tidur itu kulipat.
Pakaian-pakaian yang tergantung di belakang pintu kujejalkan ke dalam
ember. Dengan ini beres-beres kamarku selesai.
Aku
memasuki kamar mandi sambil teringat akan sebuah komedi yang pernah
kusaksikan di salah stasiun televisi. Dengan raut serius seseorang
yang berpura-pura menjadi presenter mewawancarai seseorang yang
tengah berpura-pura menjadi ilmuwan. “Kami telah menemukan sebuah
alat yang sangat penting,” kata si ilmuwan. Ia mengenakan kaca mata
dan rambutnya acak-acakan. Mengenakan jas berwarna putih seakan ia
baru saja diseret keluar dari laboratorium dan langsung menghadapi
kamera. “Sangat canggih.”
“Secanggih
apa alat temuan Anda ini?” tanya si presenter dengan raut yang tak
kalah serius.
“Dengan
alat ini, Anda bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dengan
sangat mudah. Dalam hitungan detik. Yang perlu Anda lakukan hanya
melangkah.”
“Begitu?”
tanya si presenter takjub. “Anda namai apa alat canggih ini?”
Si
ilmuwan menggaruk dagunya, “Pintu!”
Jawabannya
disambut tawa oleh penonton di studio. Di akhir adegan mereka semua
adalah pasien di dalam sebuah rumah sakit jiwa.
Aku
menutup pintu kamarku dan menyambut halaman depan kamar yang belum
disapu. Ada sebuah pohon jambu yang terus berbuah sepanjang tahun.
Daun-daun dan buah-buah yang telah membusuk terserak di halaman. Ini
hari pertama di tahun ini. Semalam aku terlalu mengantuk untuk
menunggu pergantian tahun. Terlalu nyenyak untuk sekedar mendengar
ledakan kembang api atau tiupan terompet.
Saat
mulai mengitari kota ini dengan sepeda yang kudapati adalah
sobekan-sobekan kertas dengan bekas terbakar. Terompet-terompet yang
telah gepeng terinjak. Pintu-pintu rumah masih tertutup. Lampu-lampu
teras masih menyala. Di kedua sisi jalan masih tersebar
potongan-potongan kertas warna-warni. Ampas sisa jagung bakar.
Kartu-kartu remi dan benang-benang yang mengikat pecahan balon.
Mengingatkanku akan sebuah pesta yang telah usai. Kubayangkan separuh
dunia tengah menjalani pagi pertama di bulan Januari dengan cara ini.
Sepi.
Itu awal tahun 2007. Toko buku sedang dibanjiri buku-buku dari Orhan
Pamuk yang baru saja memenangkan nobel setahun sebelumnya. Cara Pamuk
menggambarkan Istambul dalam cerita-ceritanya memberiku mata baru
untuk melihat kota Yogya yang waktu itu baru satu tahun kutempati.
Aku akan menemukan sesuatu di antara bangunan-bangunan ini, pikirku.
Saat itu aku masih sangat muda. Semuanya terlihat mungkin dan sama
sekali tak menyadari kalau aku juga bisa menghancurkan semua
kemungkinan itu. Dengan sadar atau tanpa sadar. Sendirian ataupun
dengan bantuan orang lain.
Aku melewati sebuah bangunan sekolah yang sepi. Di sebelahnya adalah
puing-puing bangunan sisa gempa satu tahun sebelumnya. Apa yang bisa
kutulis dari dinding-dinding yang retak ini? Aku perlu membaca buku
yang sangat banyak, pikirku. Berlatih menulis rutin setiap hari dan
bila perlu jatuh cinta. Persoalannya, jatuh cinta bukanlah sesuatu
yang bisa direncanakan. Akal sehatku memberitahuku kalau kisah
semacam itu tidak ditulis dengan perencanaan matang seperti hendak
merampok sebuah bank. Seringkali malah sebaliknya. Kau yang disergap
begitu saja. Dengan cara yang sangat klise.
Sampai
aku tiba kembali di kamar kosku yang hari itu lebih rapi, aku belum
juga bisa membayangkan apa persisnya yang akan kutulis. Kecuali
awal-awal setengah matang yang menjadi perpanjangan dari
lamunan-lamunanku saja. Suatu hari aku akan tahu, kataku. Sementara
itu aku mencoba menulis sebanyak mungkin dan membaca sebanyak
mungkin. Membuat kemungkinan-kemungkinan sebanyak mungkin. Membuat
pintu-pintu yang kubayangkan kelak bisa kubuka untuk memasuki
cerita-cerita. Semacam dunia-dunia yang bisa kutinggali setelah bosan
bersepeda seharian. Mengira apa yang tengah kulakukan semacam awal
dari sebuah proses kreatif. Sebuah proses penciptaan. Alih-alih
sebaliknya.
Pada
akhirnya yang terjadi memang sebaliknya.
<>