Amphibi; chapter 12
chapter 12
Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali mendengarkan Lagne
berbicara, Sekali tenggelam dalam sebuah buku, ia tak menyadari
sekitarnya sama sekali. Usai menyalakan lampu aku meneruskan
pekerjaanku memberi keterangan pada gambar amphibi yang telah kubuat
untuk Lagne. Hingga ia sendiri yang memutuskan untuk membuka
percakapan.
Ia bangkit dan membuka salah satu jendela. Ruangan yang kami tempati
memang semakin pengap.
“Kota O,” katanya, “andai kota itu ditemukan, kita akan
mendapat gambaran apa persisnya yang terjadi setelah Perang Besar.
Sepertinya sejak saat itu kita membagi-bagi kota seperti pusat-pusat
pengungsian dan melabelinya dengan huruf-huruf dari abjad phoenician.
Jauh sebelumnya setiap kota dan jalan mempunyai nama.”
“Dan kenapa dengan O?”
“Kemungkinan dari situlah bencananya dimulai. Kota itu juga pernah
menjadi pusat logistik untuk kota-kota yang lain. Aku belum dapat
membayangkan seperti apa mereka dulu melakukannya. Namun kota itu
pasti tempat yang sibuk sekali.”
Aku belum pernah sebelumnya mendengar apapun mengenai O. Selama ini
kami cuma bisa menduga-duga apa yang pernah terjadi di masa lalu.
Suatu bentuk hiburan terhadap diri untuk merintang waktu. “Itu
kedengarannya tidak praktis,” kataku. Membayangkan kota-kota yang
letaknya jauh dari O akan menunggu waktu lebih lama untuk mendapat
kiriman makanan.
“Kamu tahu apa yang paling menakutkan?” tanya Lagne,”adalah
apa yang diyakini oleh Kav dan kelompoknya ada benarnya. Aku tak
mengatakan kalau mereka benar sepenuhnya, namun mungkin saja ada
beberapa hal yang merupakan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan kita
selama ini.”
“Kita dikutuk?”
“Kita semua di sini tertawan.”
Udara malam yang mengalir membuat ruangan ini segar kembali. Apa
yang dikatakan oleh Lagne bukanlah berita yang menyenangkan. Namun
tiap kali mendengar seseorang mengambil kesimpulan mengenai nasib
kami di sini, dengan cara tertentu ada suatu beban yang perlahan
terangkat.
“Kenapa kamu tertarik bekerja denganku?” tanya Lagne.
“Maksud Anda?” tanyaku balik, tak kalah curiga.
“Kenapa kamu tidak seperti anak muda lainnya saja dan bekerja
kepada Kilma?”
“Saya pernah ke area 12. Mengais-ngais di antara lumpur dan tulang
belulang. Saya persis seperti anak seusia saya lainnya.”
Lagne terdiam, menatapku cukup lama kemudian berkata, “ya, kamu
memang seperti anak lainnya,” ujarnya, mengangguk sendiri. “Kalian
sekarang jauh berbeda dengan generasi kami umumnya dulu. Sangat
sedikit yang bertahan hidup. Kami harus menjadi salah satu antrian
yang menunggu nama kami dipanggil oleh petugas dan diberi pekerjaan
oleh Kilma.”
“Apakah di masa itu Kav dan kelompoknya sudah ada?”
Lagne menggeleng. “Kav bahkan jauh lebih muda dariku. Namun dari
dulu kelompok sejenis yang berada di luar lingkaran Kilma memang
sudah ada. Di masa itu mereka jauh lebih tersembunyi dan mereka tidak
meributkan soal luar angkasa. Satu-satunya yang menjadi keributan di
masa itu adalah ditsribusi logistik dan,” Lagne terhenti dan
tersenyum sendiri, “segelintir yang memusingkan ilmu pengetahuan
dan sejarah.” Ia menutup kembali jendela itu, kemudian beranjak ke
sofa tempatnya tadi berkemul.
“Jadi Kav melangkah terlalu jauh saat membicarakan ruang angkasa.”
“Mereka membuat sebuah sistem keyakinan dari bukti-bukti yang
sedikit. Seperti menyimpulkan pernah ada sebuah pesta dari sebuah
sendok yang tak sengaja kau temukan di jalan. Tentu saja sangat
penting untuk melihat ke angkasa saat ini. Mereka pernah melakukannya
dulu. Namun situasi tengah mendorong kita untuk lebih banyak memahami
masa lalu daripada apa yang kemungkinan terjadi di masa datang.
Pernah terjadi bencana yang sangat buruk, yang membuat kita semua di
sini seperti tertawan.” Lagne kembali menguatkan kesimpulannya.
“Apa yang mereka katakan itu melegakan.”
“Apa yang mereka katakan itu menghilangkan tujuan,” balas Lagne.
“Kamu punya sebuah tujuan, kan?”
Aku menggeleng, Sejujurnya aku belum menemukan apa yang menjadi
tujuanku sekarang. “Di penginapan saya mengenal seorang gadis
bernama India. Ia menemukan sebuah kartu pos bergambar makam yang
menyerupai sebuah istana. Entah bangunan yang ia cari itu masih ada
atau tidak, namun ia memiliki suatu tempat untuk dicari.”
“India,” ulang Lagne. Termenung sejenak. “Aku mempunyai sebuah
buku tentang India.” Garis bibirnya tertarik membentuk senyuman.
Lagne tak terlihat seringkih saat aku pertama kali memasuki ruangan
ini sore tadi.