S
Belakangan,
ia jadi tahu kalau nama perempuan babu itu adalah Maisun. Pertama
kali bertemu dengannya saat Maisun membuka pintu untuk Pat.
Ditatapnya Pat seolah ia datang hendak mengemis ke rumah itu. “Lewat
sini!” katanya, dalam nada seperti perintah kepada anak anjing yang
tak bisa diam. Pat mengekori Maisun lewat pintu samping. “Gerbang
depan itu cuma untuk tamu Tuan Besar!” tambah Maisun. Pintu samping
itu seperti gang tikus. Diatapi seng plastik berwarna hijau, yang
membuat gang itu berpendar dalam warna kehijauan.
Maisun
membuka satu lagi pintu terali besi, dan di balik pintu itu, mereka
memasuki taman yang cukup luas. Kolam kecil dengan air mancur dan
ikan nila yang mondar-mandir di dalamnya. Sebuah pohon kamboja
merunduk dari sudut halaman. Pat hampir terjengkang ke dalam kolam
saat melihat wanita yang disangkanya patung porselain tersenyum ke
arahnya. Wanita itu mengenakan kimono longgar berwarna putih. Saat
Pat akhirnya duduk, ia bisa melihat urat kebiruan seperti akar pakis
yang menjalar di pipinya yang mulus. Atau, di lengannya yang putih.
Setiap kali ia mengangkat tangan untuk menghisap rokoknya yang
mungil, lengan kimononya tersingkap.
“Jadi
ini, ya? Guru bahasa inggrisnya Steve? Sudah lama mengajar?”
“Lumayan,”
jawab Pat. Suaranya tercekat.
“Lumayan?
Di pamflet yang kamu sebar, katanya sudah pengalaman?”
“Betul,
saya sudah lumayan pengalaman.”
Wanita
itu memberi isyarat kepada Maisun untuk pergi. Rupanya dari tadi ia
masih berdiri menonton, di bawah pohon kamboja.
“Berapa
gaji yang kamu minta?”
Pat
tidak langsung menjawab. Ia tak sanggup berpikir. Otaknya masih sibuk
berdebat apakah wanita di depannya ini manusia atau bidadari.
“Atau
begini saja, berapapun gajimu biasanya, aku bayar segitu. Kamu sudah
tidak mengajar siapa-siapa lagi selain Steve?”
Pat
menggeleng.
“Bagus!
Sekarang kita temui Steve.”
Lagi-lagi,
Pat menjadi anak anjing yang patuh. Ia mengekori wanita itu seperti
ia tadi mengekori Maisun. Bedanya, ia kini mengekori dengan suka
cita. Jika ia seekor anak anjing, tentu lidahnya sudah terjulur dan
ekornya akan bergoyang-goyang. Mereka memasuki ruangan yang dipenuhi
barang antik. Perempuan di depannya bergerak luwes di antara perabot
yang bertengger hampir di setiap sudut. Ruangan itu semuanya dilapisi
marmer. Seandainya wanita yang tengah dibuntutinya itu melepas
kimononya saat itu juga, ia pasti akan terlihat seperti patung dewi
Yunani.
“Lantai dua!” Ia berbalik begitu tiba-tiba, membuat Pat hampir
menambrak bufet china di sampingnya. Mereka menaiki tangga yang
dilapisi karpet tebal. Suara langkah mereka tertelan oleh karpet dan
mereka tiba di lantai dua tanpa suara. “Steve anak yang istimewa,”
ujarnya. Pat menaruh harapan semoga anak didiknya kali ini tak
sebodoh yang terakhir. Kadang ia sendiri mulai percaya kalau bahasa
asing hanya bisa diajarkan pada anak yang memang berbakat.
Wanita
itu mendorong sebuah pintu besar yang lebih mirip pintu gerbang untuk
sebuah gereja. Begitu mereka masuk, Pat sempat mengira ruangan itu
kosong. Namun ternyata di ujung ruangan itu, seorang anak tengah
sibuk bermain lego yang berceceran. Mungkin karena langit-langitnya
yang demikian tinggi, mungkin juga karena jendelanya yang demikian
besar, sehingga benda-benda yang ada di dalam ruangan itu seperti tak
berarti. Sementara bergerak menghampiri Steve, suara langkah mereka
memantul-mantul menggaungkan kekosongan yang ganjil.
“Steve!
Steve sayang, kamu ada guru baru,” perempuan itu berjongkok di
depan Steve. Pat berusaha tak melihat pahanya.
“Steve!
Ayo, say hello to mummiii..”
Anak
kecil yang dipanggil Steve itu akhirnya mendongak. Ia menyeringai
sebentar. Liurnya mengalir deras dari ujung bibirnya. Kemudian ia
kembali sibuk menyusun lego yang juga basah oleh liurnya. Pat bahkan
tidak yakin kalau anak itu bisa bicara.
“Dia
lagi malas ngomong. Tidak perlu diajari yang sulit-sulit. Ajari yang
basic-basic saja.”
Pat
cuma menelan ludah. Ia perhatikan, lego yang disusun Steve menyerupai
menara.
“Saya
gaji kamu dua kali lipat? Deal!”
“Mungkin
yang bisa saya ajarkan nanti tidak banyak,” jawab Pat ragu.
“Deal!”
Wanita itu bangkit dan mengulurkan tangannya.
Pat
meraih tangan itu. Hangat. Lembut. Dari belahan kimononya, Pat bisa
melihat belahan dadanya yang pucat seperti pualam, bergetar. Air
liurnya hampir saja menetes deras seperti Steve. “Deal!” jawabnya
sambil menelan ludah.
Nama
perempuan marmer itu adalah Dahlia. Pat sering merasa kalau nama itu
tak cocok untuknya. Meski ia sendiri tak bisa memutuskan nama yang
lebih cocok untuk Dahlia. Steve tak pernah bisa diajari mengeja nama
ibunya. Ia hanya mengucapkan maammi
sesekali. Lebih sering, ia memilih menunjuk langsung ke arah Dahlia
yang kadang mengawasi mereka ketika belajar.
“Cun”
itulah kata yang lebih disukai Steve. “Cun! Cun! Cun!”
“Maisuun,”
perempuan babu itu membenarkan. “Maisun!” ia terlihat kecewa.
Setidaknya Pat jadi tahu namanya.
“Cun!”
Dahlia
tertawa dan menyuruh Maisun membuat minuman. “Coba ajari dia
berhitung,” katanya serius. “Dalam bahasa inggris,” sambungnya
sambil mengedikkan kepala, seakan menghitung dalam bahasa Indonesia
sudah terlalu mudah untuk Steve. Maka berlanjutlah jam-jam yang
seperti neraka itu untuk Pat. Tiap kali Steve salah mengucapkan angka
yang diberitahukan, Dahlia tertawa paling keras. Pat mulai merasa
kalau dirinya ada di situ bukan untuk mengajari Steve, namun untuk
menjadi badut penghibur bagi ibunya.
“Saya
ingin bicara sebentar,” Pat memberanikan diri mengutarakannya
begitu kelas hari itu selesai. Dahlia menganggukkan dagunya ke arah
Maisun agar ia membawa Steve keluar dari ruangan yang lengang itu.
Saat itulah Pat menyadari kalau Dahlia tak pernah menyebut atau
memanggil nama Maisun selama ini.
“Saya
tidak yakin kalau Steve bisa diajari lebih jauh lagi.”
Dahlia
tersenyum, seperti tahu apa yang akan diutarakan Pat. “Selalu saja
begini. Sudah kuduga akan seperti ini,” katanya dengan irama manja
yang begitu tiba-tiba dan membuat Pat terkejut. “Sudah kubilang
Steve anak yang istimewa, dan kamu sudah setuju. Kita sudah deal.”
Pat
mengubah posisi duduknya. “Bukannya saya mau melanggar kesepakatan.
Tapi saya rasa, yang Steve butuhkan bukan guru bahasa inggris.
Makanya saya ingin mengundurkan diri.” Pat menghela nafas lega
setelah mengucapkannya. Ia perlahan bangkit dan siap beranjak
meninggalkan ruangan itu.
“Kalau
begitu aku bayarkan gajimu yang seminggu ini dulu,” Dahlia ikut
bangkit dan beranjak mendahului Pat. “Ah, bahasa inggris selalu
menjadi pelajaran favoritku dulu,” kata Dahlia sementara ia
berjalan di depan Pat. Suaranya kembali terdengar rileks seperti
biasa. “I
even have some favorite words,”1
katanya dalam pengucapan yang nyaris sempurna. Ketika sampai di pintu
besar yang menyerupai pintu gereja itu, alih-alih membukanya, ia
malah mendorong pintu itu sampai tertutup. “Semua kata favoritku
dimulai dengan huruf S,” bisiknya dengan tubuh masih membelakangi
Pat.
Ketika
Pat menuruni tangga tanpa bersuara, ia lihat Steve terlelap di sebuah
kursi antik. Maisun duduk di lantai. Cahaya dari televisi yang
menerpa wajahnya bergerak-gerak, membuat Pat sulit membaca ekspresi
Maisun. Di luar sudah mulai gelap dan lampu taman di atas kolam sudah
dinyalakan.
“Datanglah
lagi besok, dan kamu akan tahu kata favoritku yang lain,” suara
Dahlia seperti bergema kembali di dalam kepalanya. Bunyi gerendel
pintu yang sedang dibuka Maisun membuatnya tersadar kalau ia sudah di
ujung gang sempit itu lagi.
Steve,
adalah tebakan pertama yang diajukan Pat hari itu, namun Dahlia
menggeleng. “Dia memang istimewa. Tapi ini soal kata favorit.
Datang lagi besok dan kamu boleh menebak lagi,” jawab Dahlia.
Di
hari lain, Dahlia akan mengenakan gaun berwarna hijau. Setelah
menutup pintu sambil membelakangi Pat, ia akan berdiri cukup lama dan
merentangkan lengannya seperti pohon. Sampai kemudian gaun itu
terlepas dan Dahlia terlihat seperti batang pohon yang pucat di bawah
rembulan. “Datanglah besok lagi, dan kamu akan tahu kata favoritku
yang lainnya.” Lalu ia akan memakai jaket coklat berbahan kulit dan
seperti ular yang melepas kulitnya, ia akan menerjangnya dan mereka
berdua saling mematuk seperti ular. “Datanglah lagi besok….”
Ia
selalu lupa bertanya, berapa lagi kata favorit Dahlia dalam bahasa
Inggris yang diawali huruf S? Selalu saja, ia baru teringat setelah
keluar dari rumah besar itu dan bunyi gerit dari gerendel pintu yang
ditutup Maisun sudah tak terdengar lagi.
Adakalanya
Pat tak langsung pulang. Mereka jatuh tertidur setelahnya. Kamar yang
megah itu akan membuatnya terkejut saat terbangun. Langit-langitnya
yang sangat tinggi membuatnya merasa seperti terbangun di tengah
lapangan terbuka. Ia merayap di atas lantai dan meraih satu per satu
pakainnya dalam perasaan malu. Ia tak tahu dari mana datangnya
perasaan malu itu. Sementara beranjak ke pintu diiringi suara
langkahnya yang menggaung kosong, ia mengatakan pada dirinya sendiri
bahwa mestinya ia merasa beruntung. “Datang lagi besok..” bisik
Dahlia, dan Pat mengangguk. Perasaan malunya menguap.
“Nyonya
sudah pergi sejak tadi,” ujar Maisun melihat wajah bingungnya.
Sore
itu ia terbangun sendirian dan ini membuatnya merasa jauh lebih malu
dari biasanya. Ia sempat terkejut ketika melihat pintu ruangan itu
terbuka lebar. Siapapun yang melintas di depan ruangan itu pasti bisa
melihat tubuh telanjangnya saat tertidur tadi. Untungnya Maisun tidak
berdiri di pintu itu untuk menghinanya. Ia mendapati Maisun, seperti
biasa, menonton TV di lantai satu, dalam ruangan yang dipenuhi barang
antik. Dalam pangkuannya, Steve terlelap. Bulir-bulir keringat pada
dahinya membuat wajah terlelap bocah itu terlihat lebih damai.
Maisun
menidurkan Steve di atas kursi. Kemudian meraih kunci gerbang seperti
biasanya. Pat mengekori di belakang, menembus taman dengan pohon
kamboja dan air mancur yang disirami lampu taman. Gang sempit yang
biasanya hijau itu kini lebih remang. Cahaya sore memberkas melalui
atap seng plastik. Bunyi klik
terdengar
saat Maisun menekan saklar lampu, membuat gang kecil itu kini terang.
Ia bergerak serba perlahan, dan sesuatu dalam gerakannya membuat Pat
merasa tersiksa. Ia ingin cepat-cepat pergi dari situ. Jauh-jauh dari
rumah itu, jauh-jauh dari Maisun.
“Sebelum
pergi tadi, nyonya menitipkan ini,” Maisun menyodorkan amplop
berwarna coklat yang baru kali ini disadari Pat. “Gajimu untuk satu
bulan. Nyonya bilang, besok tak perlu datang lagi.”
Pat
meraih amplop itu diliputi perasaan terhina. Ia melangkah keluar
tanpa terpikir mengucapkan terima kasih. Cengkeraman rasa malu
membuat perutnya mual. “Orang tuamu pasti bangga kamu sudah bisa
mencari uang sendiri.” Maisun mengakhiri kata-katanya dengan
membanting pintu di depan wajahnya. Suara hantaman pintu besi itu
membuat kata-kata Maisun semakin menggaung di dalam kepalanya. Orang
tuamu pasti bangga. Orang tuamu pasti bangga. Orang tuamu pasti
bangga.
Ia
berjalan merunduk menyusuri jalan yang masih hangat setelah
terpanggang sepanjang siang. Bau aspal yang menggantung di udara
membuat perutnya semakin mual. Pat tertatih-tatih ke trotoar dan
muntah di pinggir jalan. Di barat matahari mulai tenggelam.
Shallow2
kata itu muncul begitu saja. Mengambang di jalan yang sunyi. Jika ada
yang menanyainya satu saja kata dalam bahasa inggris yang diawali
huruf S untuk menggambarkan dirinya selama ini, shallow,
itulah
kata yang ingin ia ucapkan. Shallow,
lalu
ia muntah kembali.
Sewon,
Oktober 2014
1
Aku bahkan punya beberapa kata favorit
2
dangkal
Komentar
Posting Komentar